Cari Artikel

Unknown


Kasus Prita yang marak diperbincangkan belakangan ini membuat dunia IT Indonesia terhenyak. Indonesia, yang telah melalui proses reformasi menuju demokrasi, berubah menjadi negara yang demokrasinya sangat maju. Demokrasi yang dilahirkan dari proses reformasi ini identik dengan kebebasan rakyat terutama dalam hal kebebasan berpendapat.

Jika sebelumnya seseorang mengkritik pemerintah akan dihukum, hal itu tidak terjadi lagi sejak era reformasi. Jika sebelumnya pers terkukung dalam kekuasaan pemerintah, sekarang sudah tidak lagi karena pers sudah hampir bebas sepenuhnya menurut undang-undang walaupun masih sedikit dikontrol oleh kode etik jurnalistik. Pers dan masyarakat menjadi sangat kritis terhadap pemerintah, pers mengkritik segala macam hal yang tidak benar dengan jalan memberitakan kepada masyarakat dan masyarakat mengkritik segala sesuatunya dengan jalan berdemonstrasi.

Karena inilah, pers menjadi sangat bebas, dan oleh karena ini pula Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam yang paling maju demokrasinya, sampai dunia internasional memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Indonesia.

Namun, semua itu hilang dan lenyap ketika mencuatnya kasus Prita. Ternyata, setelah ditelusuri lebih lanjut, Prita bukan merupakan yang pertama. Prita merupakan satu dari banyak orang yang menjadi “korban” dari kekeliruan peraturan yang dibuat UU ITE. UU ITE benar-benar memasung kebebasan masyarakat Indonesia terutama masyarakat kecil yang mengeluarkan pendapatnya di internet.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar reformasi dan demokrasi. Kebebasan berpendapat menjadi tidak berlaku lagi di Indonesia.

Oleh karena itu, mari kita tentang UU ITE dan desak pemerintah dalam hal ini DPR untuk melakukan revisi terhadap UU yang memasung kebebasan rakyat Indonesia tersebut. (NL)

Baca juga: Para Korban Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik

0 Responses

Posting Komentar